Gambar Sampul IPS · BAB IV Peristiwa peristiwa Politik dan Ekonomi
IPS · BAB IV Peristiwa peristiwa Politik dan Ekonomi
I Wayan Legawa, dkk

24/08/2021 13:44:25

SMP 9 KTSP

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

59

Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia telah

dilalui dengan sangat berat, baik perjuangan fisik maupun diplomasi. Berbagai

pertempuran antara tentara dan rakyat Indonesia dengan tentara Belanda terjadi

di mana-mana. Perjuangan diplomasi sebagai alternatif untuk menyelesaikan

KEUTUHAN NEGARA

KESATUAN RI

PENGAKUAN KEDAULATAN

REPUBLIK INDONESIA

PERISTIWA-PERISTIWA

POLITIK

MASYARAKAT ADIL DAN

MAKMUR

PERISTIWA-PERISTIWA

EKONOMI

USAHA-USAHA PEMERINTAH MEWUJUDKAN

STABILITAS NASIONAL

PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN

EKONOMI INDONESIA PASCA

PENGAKUAN KEDAULATAN

BAB

IV

PETA KONSEP

Kedaulatan, demokrasi, politik, ekonomi, liberal, serikat, terpimpin,

perjuangan, diplomasi, seperatis, integrasi, kerja sama, keadilan, dan

persamaan.

KA

KA

KA

KA

KA

TT

TT

T

A KUNCI

A KUNCI

A KUNCI

A KUNCI

A KUNCI

Setelah mempelajari Bab ini, kalian diharapkan memiliki kemampuan

untuk menyebutkan peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi yang

terjadi di Indonesia antara tahun 1950-1965, serta menjelaskan

hubungannya dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

60

masalah antara RI dan Belanda, akhirnya mengalami kegagalan karena Belanda

selalu mengingkari isi perjanjian yang telah ditandatangani.

Sebagai langkah untuk menyelesaikan pertikan antara RI dan Belanda, UNCI

memprakarsai diselenggarakannya KMB yang diikuti delegasi dari RI, FBO, dan

Belanda. Salah satu isi KMB adalah Belanda mengakui RIS sebagai negara merdeka

dan berdaulat.

Apakah pengakuan kedaulatan pemerintah Belanda terhadap kemerdekaan

Indonesia dapat diartikan bahwa perjuangan bangsa Indonesia telah selesai? Tentu

tidak, karena bangsa Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan menuju

kehidupan yang domokratis, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila. Beberapa

peristiwa politik dan ekonomi yang terjadi pasca pengakuan kedaulatan merupakan

bukti perjuangan panjang bangsa Indonesia.

A. Terbentuknya RIS

Sebagai realisasi dari perjanjian Roem-Royen, UNCI memprakarsai

diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag, Belanda.

Konferensi berlangsung dari tanggal 23 Agustus – 2 Nopember 1949. Konferensi

diikuti delegasi dari RI, FBO, dan Belanda.

Pada tanggal 4 Agustus 1949, pemerintah RI membentuk delegasi untuk

mengikuti KMB yang terdiri dari Drs. Moh. Hatta (Ketua), dan para anggota: Mr.

Moh. Roem, Prof. Dr. Supomo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda,

dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim

Pringgodigdo, Kolonel TB Simatupang, dan Mr. Muwardi. Delegasi BFO dipimpin

oleh Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak. Delegasi Belanda dipimpin oleh

J.H. Van Maarseveen. Sedangkan yang bertindak sebagai penengah adalah wakil

dari UNCI yanf terdiri dari Critley, R. Heremas, dan Merle Conhran.

Hasil dari KMB adalah sebagai berikut:

1. Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia tanpa syarat dan tidak

dapat ditarik kembali;

2. Indonesia akan membentuk negara sekrikat (RIS) dan merupakan uni dengan

Belanda;

3. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan konsesi atau

jaminan dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan Belanda;

4. RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942;

5. Status Karesidenan Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.

Sementara KBM sedang berlangsung, RI dan FBO menandatangani perjanjian

tentanf Konstitusi RIS pada tanggal 29 Oktober 1949. Perjanjian itu dituangkan

dalam sebuah piagam yang ditandatangani wakil-wakil RI dan negara-negara atau

daerah-daerah yang akan menjadi anggota RIS. Berdasarkan Konstitusi RIS, negara

berbentuk federasi dan terdiri dari daerah-daerah di seluruh Indonesia, yaitu:

1. Negara RI yang meliputi seluruh wilayah menurut Perjanjian Renville;

2. Negara-negara bentukan Belanda menurut hasil Konferensi Malino, yaitu:

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

61

a. Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Cokorde Gde Sukowati sebagai

Presiden dan Najamudin Daeng Maewa sebagai PM,

b. Negara Sumatera Timur dengan Dr. Mansyur sebagai wakilnya,

c. Negara Sumatera Selatan dengan Abdul Malik sebagai walinya,

d. Negara Madura dengan Cokroningrat sebagai walinya,

e. Negara Jawa Timur dengan Wiranata Kusumah sebagai walinya.

3. Satu satuan negara yang tegak sendiri;

4. Daerah-daerah selebihnya bukan daerah bagian.

Konstitusi RIS merupakan

kesepakatan dan kebulatan tekad

antara RI dan FBO untuk bersatu.

Sementara, KNIP mengadakan

sidang untuk membahas hasil-hasil

KMB pada 6 – 14 Desember 1949.

Sidang yang dihadiri 325 anggota

KNIP berhasil mengambil keputusan

bahwa KNIP dapat menerima hasil

KBM melalui pemungutan suara, di

mana 226 suara menyatakan setuju.

62 suara menolak, dan 31 suara

meninggalkan sidang.

Sebagai tindak lanjut hasil KBM,

terdapat beberapa peristiwa penting, seperti:

1. Pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan

calon tunggal Ir. Soekarno;

2. Pada tanggal 16 Desember 1949 Ir.

Soekarno dipilih Presiden RIS;

3. Pada tanggal 17 Desember 1949 Ir.

Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS;

4. Pada tanggal 20 Desember 1949 Presiden

Soekarno melantik Kabinet RIS yang

pertama dengan Drs. Moch. Hatta sebagai

PM.

Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin Drs. Moch.

Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan

dari pemerintah Belanda. Upacara pengakuan kedaulatan dilakukan secara

bersamaan, baik di Indonesia maupun di Belanda pada tanggal 27 Desember

1949.

1. Di ruang istana Kerajaan Belanda; Ratu Juliana, PM Dr. William Drees, Menteri

Seberang Lautan Mr. A.M.J.A Sassen, dan Ketua Delegasi RIS Drs. Moch. Hatta

secara bersama-sama membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan

kedaulatan tersebut;

Pada tanggal 14 Desember

1949 Wakil-wakil Pemerintah RI,

Negara Bagian, Daerah-daerah

yang menjadi bagian RIS, KNIP,

dan DPR dari masing-masing

Negara Bagian mengadakan

Musyawarah Federal untuk

Menyetujui Naskah Konstitusi

RIS.

Gambar. 4.1

Assat Berpidato sebagai Ketua KNIP

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

62

2. Di Jakarta; Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda,

A.H.J. Lovink dalam suatu upacara secara bersama-sama membubuhkan tanda

tangan pada naskah pengakuan kedaulatan tersebut;

3. Pada waktu yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI

kepada RIS.

Ternyata, pembentukan RIS tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi

bangsa Indonesia. Masalah itu bukan saja berasal dari sikap pemerintah Belanda

yang tidak konsisten dalam melaksanakan hasil KMB, melainkan juga berasal dari

dalam negeri. Pemerintah Belanda tidak bersedia menyelesaikan masalah Irian

Barat (Papua sekarang) seperti yang disebutkan dalam isi perjanjian KMB.

Sedangkan dari dalam negeri timbul masalah baru yang berkaitan dengan: (1)

masalah integrasi, (2) masalah angkatan bersenjata, dan (3) masalah penolakan

rakyat negara-negara bagian terhadap RIS (bentuk negara federasi).

B. Kembali ke Negara Kesatuan

Pada dasarnya, kesediaan delegasi Indonesia untuk menandatangani hasil-

hasil KMB merupakan strategi untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Apabila

Indonesia tidak mau menerima negara RIS, dikhawatirkan Belanda akan

memperlambat atau bahkan tidak akan mengakui kedaulatan Indonesia. Hal itu

dapat dimaklumi karena Belanda sangat berambisi untuk tetap mempertahankan

kekuasaan seperti sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, Belanda masih

mengharapkan bisa menanamkan pengaruhnya melalui negara-negara boneka

bentukan Belanda. Negara-negara boneka sebagai anggota RIS masih memiliki

kedaulatan sehingga dapat menentukan garis politiknya. Kenyataan itulah yang

menjadi keinginan Belanda agar tidak kehilangan pengaruhnya sama sekali

dalam kehidupan politik dan ekonomi di wilayah Indonesia.

Itulah salah satu strategi yang ditempuh para pemimpin nasional dalam

rangka mewujudkan NKRI. Berdasarkan Konstitutsi RIS, Negara RIS terdiri dari

tujuh negara bagian, sembilan satuan kenegaraan, dan tiga daerah swapraja

sebagai berikut:

a. Negara-negara bagian terdiri dari Republik Indonesia (RI), Negara Pasundan,

Negara Jawa Timur, Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Madura, Negara

Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan.

b. Satuan kenegaraan terdiri dari Kalbar, Kaltim, Dayak Besar, Banjar,

Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau Kepulauan, dan Jawa Tengah.

c. Daerah swapraja yang terdiri dari Waringin, Sabang, dan Padang.

1. Sebutkan faktor-faktor yang mendorong Belanda untuk membentuk negara-

negara boneka!

2. Mengapa sebagian besar Indonesia menolak Negara Republik Indonesia

Serikat (RIS)?

Tugas 4.1

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

63

Bentuk negara federal, ternyata tidak memuaskan negara-negara, satuan

kenegaraan, maupun daerah swapraja karena dianggap sebagai warisan

pemerintah kolonial Belanda yang ingin tetap menjajah Indonesia. Negara federal

juga tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia yang mendasarkan pada

persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping alasan itu,

anggota RIS (kecuali RI) sedang mengalami berbagai

kesulitan, baik dalam bidang politik pemerintahan maupun

sosial ekonomi.

Secara politis, eksistensi beberapa negara bagian

sangat sulit untuk dipertahankan karena pembentukkannya

atas prakarsa Belanda. Sedangkan dalam bidang ekonomi

mereka harus menanggung hutang yang tidak kecil

sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial

rakyatnya. Beberapa negara bagian, satuan kenegaraan,

dan daerah swapraja memiliki latar belakang pembentukkan

yang berbeda-beda.

Di samping negara-negara bagian, beberapa daerah

lain dinyatkan sebagai daerah otonom (satuan kenegaraan

maupun daerah swapraja). Belanda sangat berharap

bahwa daerah-daerah otonom itu akhirnya akan berdiri

sebagai negara bagian. Salah seorang yang menjadi

boneka Belanda dan sangat mendukung berdirinya RIS

adalah Sultan Hamid II. Oleh karena itu, lahirnya RIS

menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan

anfkatan bersenjata.

1. Faktor-faktor Pendorong

Sesuai dengan hasil KMB, RIS harus membayar hutang Belanda sejak tahun

1942 sampai pengakuan kedaulatan. Alasannya, semua hutang Belanda

digunakan untuk kepentingan Hindia-Belanda. Sedangkan pihak RIS hanya

bersedia menanggung hutang Belanda sampai Indonesia menyatakan

kemerdekaan. Alasannya, apabila RIS harus menanggung hutang sampai tahun

1949 berarti RIS harus membiayai sendiri penyerangan-penyerangan Belanda

terhadap Republik Indonesia. Hal ini menimbulkan jalan buntu, terutama dalam

menentukan tanggung jawab masing-masing negara bagian. Sementara, Amerika

Serikat terus menekan agar RIS menanggung semua hutang Belanda.

Masalah di atas merupakan salah satu faktor yang mendorong timbulnya

pemikiran untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Gerakan yang menginginkan

bentuk negara kesatuan pun semakin meluas. Berbagai demonstrasi dan mosi

yang menuntut agar negara-negara bagian RIS dilebur dan bergabung dengan

Republik Indonesia guna membentuk negara kesatuan. Presiden NIT, Sukowati

mengumumkan bahwa negara bagiannya siap menjadi unsur suatu negara

kesatuan. Bahkan, 13 daerah di wilayah NIT, keculi Maluku Selatan siap untuk

Gambar. 4.2.

Sultan Hamid II adalah salah

satu tokoh kaum federal yang pernah

bersekongkol dengan Raymond Westerling

untuk membantai rakyat di Sulawesi

Selatan.

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

64

melepaskan diri dari NIT dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Tindakan itu kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Penggabungan antara

daerah yang satu dengan lainnya dimungkinkan oleh pasal 43-44 Konstitusi RIS.

Para pendukung negara kesatuan dikenal sebagai kaum unitaris dan

masyarakat yang menghendaki negara RIS dikenal sebagai kaum federalis.

Semula, kedudukan kaum federalis cukup kuat untuk mempertahankan

pandangannya. Akan tetapi, kekuatan itu mulai memburuk sebagai akibat beberapa

tokohnya berkhianat terhadap RIS. Penghianatan mereka dikenal sebagai tindakan

separatis. Beberapa tindakan separatis itu, di antaranya:

a. Sultan Hamid II bersekongkol dengan Raymond Westerling untuk

membunuh rakyat di Sulawesi Selatan, tentara di Bandung, dan mengancam

akan membunuh para petinggi RIS di Jakarta. Kelompok ini menamakan

diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) suatu gerakan separatis yang ingin

mempertahankan negara Pasundan dan lepas dari RIS.

b. Kapten Andi Aziz membuat makar di Makasar, Sulawesi Selatan. Ia dan

pasukannya menyerang markas TNI di kota itu. Para prajurit TNI menjadi

korban penyerangan itu. Pada tanggal 5 April 1950, Andi Aziz menyatakan

NIT tetap dipertahankan.

c. Dr. Soumokil memimpin gerakan separatis di Maluku Selatan. Gerakan ini

dikenal sebagai Republik Maluku Selatan (RMS). Pada tanggal 25 April 1950,

Soumokil memimpin pemberontakkan terhadap RIS melalui berbagai

intimidasi, teror, dan pembunuhan di beberapa tempat. Jelas, tindakkan itu

dapat menghambat upaya mewujudkan negara kesatuan, sekaligus

menghancur RIS yang telah diakui dunia internasional.

Berbagai gerakan separatis tersebut telah melahirkan sikap tidak senang

terhadap tokoh-tokoh kaum federalis dan mendorong mereka untuk mendukung

tokoh-tokoh kaum unitaris. Dengan

demikian, gerakan separatis merupakan

faktor yang ikut mendorong usaha-usaha

perjuangan kembali ke negara kesatuan.

Faktor lain yang mendorong untuk

kembali ke negara kesatuan adalah

keinginan rakyat. Di berbagai daerah

dilancarkan tuntutan pembubaran negara-

negara bagian. Pada bulan Februari 1950,

rakyat Jawa Barat melakukan

demonstrasi di depan Parlemen

Pasundan menuntut dibubarkannya

negara Pasundan. Di Jawa Timur, rakyat

berdemonstrasi menuntut dibubarkannya

negara Jawa Timur. Tuntutan semacam

itu terus meluas di beberapa negara bagian maupun satuan kenegaraan (daerah-

daerah otonom). Sampai tanggal 5 April 1950, negara-negara bagian dalam RIS

Gambar. 4.3

Demo menuntut Pembubaran Negara Pasundan

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

65

tinggal tiga, yaitu RI, NIT, dan NST.

Beberapa daerah melancarkan mosi untuk melepaskan diri dari RIS dan

bergabung dengan Republik Indonesia, di antaranya:

a. Pada tanggal 4 Januari 1950, DPRD Malang mengajukan mosi untuk lepas

dari Negara Jawa Timur dan masuk Republik Indonesia.

b. Pada tanggal 30 Januari 1950, Sukabumi minta lepas dari Pasundan dan

masuk menjadi bagian Republik Indonesia.

c. Pada tanggal 22 April 1950, Jakarta Raya menggabungkan diri pada

Republik Indonesia.

d. Di Sumatera terjadi pergolakan politik di mana rakyat menuntut pembubaran

Negara Sumatera Timur. Front Nasional Sumatera Timur dalam

konferensinya pada tanggal 21 dan 22 Januari 1950 mengeluarkan resolusi

yang antara lain menuntut supaya Negara Sumatera Timur selekas-

lekasnya digabungkan kepada Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan

Sementara Negara Sumatera Timur dibubarkan dan diganti dengan Dewan

Perwakilan Sumatera Timur yang demokratis.

e. Di Sulawesi timbul gerakan-gerakan rakyat yang menuntut pembubaran

negara Indonesia Timur dan sebelum RIS dengan resmi membubarkan

negara Indonesia Timur terlebih dahulu mereka menggabungkan diri dengan

Republik Indonesia.

2. Langkah Menuju ke Negara Kesatuan

Bertitik tolak dari keadaan di atas, pada tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah

RIS di Jakarta mengeluarkan UU Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara

Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan UU tersebut, beberapa

negara bagian mulai menggabungkan diri dengan RI di Yogyakarta. Negara bagian

RIS pun tinggal terdiri dari RI, NIT, dan NST.

Pada tanggal 19 Mei 1950, diadakan perundingan antara Pemerintah RIS

yang diwakili Moh. Hatta setelah mendapat mandat dari NIT dan NST dangan

Pemerintah RI diwakili oleh Abdul Halim, Wakil Perdana Menteri RI. Perundingan

itu menghasilkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam piagam

persetujuan yang berisi:

a. RIS dan RI sepakat membentuk negara kesatuan berdasarkan proklamasi

kemerdekaan 17 Agustus 1945.

b. RIS dan RI membentuk panitia bersama yang bertugas menyusun UUD

negara kesatuan.

Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan, dibentuklah panitia gabungan

RIS-RI yang diketuai secara bersama-sama oleh Prof. Dr. Supomo (Menteri

Kehakiman RIS) dan Abdul Halim (Wakil PM RI). Pada tanggal 21 Juli 1950,

Pemerintah RIS dan RI berhasil menyepakati Rancangan UUD Negara Kesatuan.

Pada tanggal 14 Agustus 1950, Parlemen RI dan Senat RIS mengesahkan

Rancangan UUD Negara Kesatuan menjadi Undang Undang Dasar Sementara

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

66

Tahun 1950 (UUDS 1950). Sehari kemudian,

Presiden Soekarno membacakan piagam

terbentuknya NKRI dan dinyatakan mulai berlaku

pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu juga

Soekarno terbang ke Yogyakarta untuk menerima

kembali jabatan sebagai Presiden RI, yang

sebelumnya dipangku oleh Mr. Asaat. Dengan

demikian, sejak 17 Agustus 1950 negara RIS

secara resmi dibubarkan dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia berhasil ditegakkan kembali.

Keberhasilan itu merupakan bukti adanya

persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

C. Pemilu 1955

Pemilihan Umum (Pemilu) yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955.

Pemilu dilaksanakan dua tahap, yaitu tanggal 29 September 1955 untuk memilih

anggota-anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-

anggota Konstituante. Pemilu dilaksanakan dalam suasana kehidupan politik yang

demokratis. Berdasarkan UUDS 1950, maka kehidupan politik di wilayah NKRI

didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi liberal. Artinya, setiap partai politik

dan perorangan pun harus diberi kebebasan untuk mengikuti Pemilu. Oleh karena

itu, penetuan peserta Pemilu tanpa adanya verifikasi seperti sekarang.

1. Perkembangan Kepartaian

Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang terdiri dari orang-orang

yang memiliki pandangan, nilai-nilai, orientasi, dan cita-cita yang sama. Tujuan

pembentukkan partai politik adalah untuk merebut, memperoleh, dan/atau

mempertahankan kekuasaan. Jadi, lahirnya kepartaian berkaitan erat dengan

kekuasaan dalam suatu negara atau pemerintahan.

Perkembangan kepartaian di Indonesia telah dimulai pada masa Per-gerakan

Nasional. Pembentukkan partai politik dipelopori para mahasiswa STOVIA di

Jakarta. Sejak Budi Utomo berdiri pada tahun 1908, kemudian lahir partai-partai

politik dengan tujuan yang berbeda satu sama lainnya. Salah satu kendala yang

dihadapai partai politik pada waktu itu untuk mendapatkan badan hukum dari

pemerintah Hindia Belanda. Mengapa? Belanda sangat khawatir terhadap

berdirinya partai politik yang akan menjadi alat perjuangan rakyat. Pada tahun

1912, Sarekat Islam gagal mendapatkan badan hukum, apalagi Indiche Partij

yang dibubarkan pada tahun berdirinya.

Apabila dilihat dari sisi perjuangannya, partai-partai politik pada masa

Pergerakan Nasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Partai yang bersifat radikal, seperti SI, PNI, PI, IP, dan PKI. Partai-partai ini

tidak bersedia bekerja sama dengan Pemerintah Hindi Belanda dan mereka

Gambar. 4.4.

Pelantikan Anggota DPR NKRI

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

67

menolak duduk dalam Dewan Rakyat (Volksraad).

b. Partai yang bersifat moderat, seperti BU, Persatuan Bangsa Indonesia

(PBI), Parindra, Gerindo, dan Gapi. Mereka bersedia bekerja sama dengan

Pemerintah Hindia Belanda dan bersedia duduk dalam Dewan Rakyat

(Volksraad).

Dilihat dari segi ideologi, partai-partai itu dapat dibedakan menjadi beberapa

kelompok, seperti:

a. Agama (SI, SDI, PSII, Masyumi, Partai Katholik,),

b. Nasionalis (BU, PNI, PBI, Parindra, IP, Gerindo, Gapi), dan

c. Sosialis Marxis (ISDV, Partai Buruh Indonesia, dan PKI).

Pada masa pendudukan Jepang, semua partai politik dinyatakan sebagai

organisasi terlarang. Semua kekuatan harus ditujukan untuk memenangkan

Perang Asia Timur Raya. Jepang hanya mengizinkan organisasi sosial

keagamaan seperti Majelis Islamiah Ala Indonesia (MIAI). Ormas ini kelak berubah

menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu partai politik

terbesar berdasarkan hasil Pemilu 1955.

Pasca kemerdekaan, Pemerintah RI memerlukan lembaga DPR/MPR

sebagai cermin wakil rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk itu, melalui

Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, pemerintah menghargai lahirnya partai

politik sebagai bagian dari pembentukan DPR/MPR. Sejak saat itu, berdirilah

partai-partai politik bagaikan jamur di musim penghujan. Adapun partai-partai

politik yang lahir pasca kemerdekaan adalah:

a. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan oleh dr.

Sukiman pada tanggal 7 Nopember 1945.

b. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Moh. Jusuf sejak tanggal

7 Nopember 1945.

c. Partai Buruh Indonesia (PBI) yang dipimpin oleh Nyono dan didirikan pada

tanggal 8 Nopember 1945.

d. Partai Rakyat Jelata yang dipimpin oleh Sutan Dewanis dan didirikan pada

tanggal 8 Nopember 1945.

e. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang dipinpim oleh Ds Probowinoto

dan didirikan pada tanggal 10 Nopember 1945.

f.

Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipinpim oleh Mr. Amir Syarifuddin

dan didirikan pada tanggal 10 Nopember 1945.

g. Partai Rakyat Sosialis (PRS) yang dipinpim oleh Sutan Syahrir dan didirikan

pada tanggal 20 Nopember 1945.

h. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) yang dipinpim oleh I.J. Kasimo

dan didirikan pada tanggal 8 Nopember 1945.

i.

Partai Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) yang dipinpim oleh J.B. Assa

dan didirikan pada tanggal 17 Nopember 1945.

j.

Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipinpim oleh Didik Joyosukarto sejak

29 Januari 1946.

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

68

2. Pelaksanaan Pemilu

Beberapa kabinet yang memerintah pada masa demokrasi liberal telah

menetapkan Pemilu sebagai salah satu program kabinetnya. Pelaksanaan Pemilu

merupakan konsekuensi dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.

Pada waktu itu, sebagian partai politik belum berfungsi sebagai penyalur aspirasi

rakyat karena lebih mementingkan para pemimpinnya. Kenyataan itu

mengakibatkan kehidupan politik tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan

masyarakat. Kepincangan terjadi di sana sini sehingga rakyat menjadi frustasi

dan menuntut agar segera dilaksanakan Pemilihan Umum.

Persiapan pelaksanaan Pemilu telah dimulai pada masa pemerintahan

Kabinet Ali-Wongso. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan pada masa

pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu dilaksanakan dua tahap,

yaitu:

a. Tahap pertama pada tanggal 29 September 1955 dengan tujuan untuk

memilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis

Rendah.

b. Tahap kedua pada tanggal 15 Desember 1955 dengan tujuan untuk memilih

para anggota Konstituante atau Majelis Tinggi.

Dalam pelaksanaannya, Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang

meliputi 208 Kabupaten, 2.139 Kecamatan, dan 43.429 Desa. Pemilih yang

datang untuk memberikan suara berjumlah 37.875.299 orang. DPR hasil

pemilihan umum beranggotakan 272 orang, yaitu dengan perhitungan bahwa

satu orang anggota DPR mewakili 140.000 orang penduduk, sedangkan anggota

Konstituante berjumlah 542 orang.

Pemilu tersebut dinilai berlangsung secara tertib dan aman. Oleh karena itu,

para pengamat dari luar yang datang ke Indonesia menyatakan bahwa pemerintah

Indonesia telah berhasil menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu dengan

baik. Sayangnya, Pemilu tersebut belum menghasilkan sebuah kemenangan

mutlak bagi sebuah partai politik. Hal itu memang sulit karena peserta Pemilu

sangat banyak jumlahnya, yaitu 28 kontenstan. Dari hasil perhitungan suara telah

muncul empat partai besar, yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45

kursi), dan PKI (28 kursi).

Pemilu yang diikuti banyak partai sangat baik karena dapat menjamin pesta

demokrasi yang bear-benar demokratis karena setiap orang memiliki pilihan yang

cukup banyak. Artinya, masing-masing orang yang memiliki hak suara dapat

menentukan partai yang paling sesuai ideologinya. Namun dilihat dari sisi hasilnya,

pemilu yang diikuti banyak partai biasanya kurang menguntungkan usaha setiap

partai politik untuk memperoleh suara mayoritas sangat sulit tercapai. Keadaan

ini biasanya akan melahirkan pemerintahan yang lemah. Hal ini terbukti, ketika

Konstituante gagal menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar untuk

menggantikan UUDS 1950.

Di samping itu, upaya untuk membentuk pemerintah yang stabil sangat sulit

direalisasikan. Hal ini dapat dilihat dari usia pemerintahan yang relatif singkat,

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

69

seperti:

1. Kabinet Burhanuddin Harapan (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956);

2. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957);

3. Kabinet Juanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).

Ternyata, usia Kabinet pasca Pemilu 1955 tidak jauh berbeda dengan usia

Kabinet pada masa 1950 - 1955, seperti:

1. Kabinet M. Natsir (6 Oktober 1950 – 21 Maret 1951);

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 23 Februari 1952);

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 2 Juni 1953);

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955).

Apabila dikaji secara cermat, maka persoalannya terletak pada sistem

yang diterapkan tidak sesuai. Pada waktu itu, kita menganut sistem demokrasi

liberal. Dengan demikian, upaya Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945

melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan langkah yang tepat. Apakah dengan

adanya ‘amandemen’ dengan sisten ‘adendum’ terhadap UUD 1945 akan

menghasilkan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih baik?

Inilah salah satu persoalan yang harus dicermati dan dikritisi.

Tabel 4.1

Hasil Perolehan Suara dan Jumlah Kursi

Masing-masing Partai Politik Untuk Anggota DPR

233

257

100

37.785.299

Jumlah

9.070.218

7.789.619

6.989.333

6.232.512

1.059.922

988.810

748.500

695.932

544.803

465.359

220.652

332.047

248.633

162.420

101.509

42

44

8

17

4

5

8

14

-

1

13

6

4

1

18

46

57

57

45

39

8

8

6

5

4

4

2

2

1

16

22.3

20.9

18.4

16.4

2.9

2.6

10

2.0

1.4

1.3

0.6

0.6

0.5

0.5

0.3

7.3

8.434.653

7.903.886

6.955.141

6.176.914

1.091.160

1.003.325

770.740

753.191

541.306

483.014

242.125

224.167

199.588

178.481

114.644

2.712.964

PNI

Masyumi

NU

PKI

PSII

Parkindo

Partai Katolik

PSI

JPKI

Perti

PRN

Pw,ai Bun,-h

Murba

PIR (Wongnegoro)

PIR

(Hazairin)

Lain-lain

Perolehan

Suara

Kursi di

Parlemen

Lama

Kursi di

Parlemen

Baru

%

Perolehan

suara yang sah

Partai

233

257

100

37.785.299

Jumlah

9.070.218

7.789.619

6.989.333

6.232.512

1.059.922

988.810

748.500

695.932

544.803

465.359

220.652

332.047

248.633

162.420

101.509

42

44

8

17

4

5

8

14

-

1

13

6

4

1

18

46

57

57

45

39

8

8

6

5

4

4

2

2

1

16

22.3

20.9

18.4

16.4

2.9

2.6

10

2.0

1.4

1.3

0.6

0.6

0.5

0.5

0.3

7.3

8.434.653

7.903.886

6.955.141

6.176.914

1.091.160

1.003.325

770.740

753.191

541.306

483.014

242.125

224.167

199.588

178.481

114.644

2.712.964

PNI

Masyumi

NU

PKI

PSII

Parkindo

Partai Katolik

PSI

JPKI

Perti

PRN

Pw,ai Bun,-h

Murba

PIR (Wongnegoro)

PIR

(Hazairin)

Lain-lain

Perolehan

Suara

Kursi di

Parlemen

Lama

Kursi di

Parlemen

Baru

%

Perolehan

suara yang sah

Partai

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

70

D. Pembaruan Ekonomi Nasional

Kondisi perekonomian Indonesia yang buruk dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti pelaksanaan sistem ekonomi kolonial, eksploitasi sumber daya

alam pada masa pendudukan Jepang yang berorientasi pada kepentingan

perang, atau sebagai akibat peperangan yang terjadi di berbagai wilayah Indo-

nesia. Keadaan itu diperburuk dengan pelaksanaan taktik perang bumi hangus

yang memporakporandakan dunia flora Indonesia. Sejak proklamasi

kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berusaha untuk memperbaiki

perekonomian dengan mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang ekonomi.

Pada awal kemerdekaan, terjadi inflasi yang sangat tinggi sebagai akibat

tak terkendalinya peredaran uang Jepang. Pemerintah belum bisa melarang

peredaran uang Jepang karena belum memiliki mata uang sendiri. Pada waktu

itu, pemerintah mengakui beredarnya tiga mata uang, yaitu:

1. Uang De Javanche Bank,

2. Uang Hindia Belanda, dan

3. Uang Jepang.

Keadaan perekonomian Indonesia semakin parah sebagai akibat blokade

laut oleh Belanda. Tujuannya adalah ingin menghancurkan RI melalui senjata

ekonomi. Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan,

Ir. Surachman merencanakan untuk mengeluarkan kebijakan pinjaman nasional

dan telah disetujui oleh BP KNIP. Pinjaman itu diperkirakan mencapai Rp

1,000,000,000.oo yang dibagi menjadi dua tahap. Pinjaman itu akan

dikembalikan dalam waktu 40 tahun. Kebijakan itu mendapat dukungan dari

rakyat dengan bukti pemerintah mampu menghimpun tabungan rakyat sebesar

Rp 500,000,000.oo.

Ternyata, keadaan perekonomian tersebut terus memburuk karena

berbagai kebijakan Belanda yang mencampuri urusan Indonesia. Misalnya,

Belanda mengeluarkan uang NICA untuk mengganti Jepang. Sementara,

pemerintah Indonesia mengeluarkan uang kertas baru, yaitu Oeang Repoeblik

Indonesia (ORI). Kemudian pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia

(BNI) pada 5 Juli 1946, mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC).

Di samping itu, pemerintah berhasil menyelenggarakan Konferensi Ekonomi

yang pertama. Konferensi ini menghasilkan beberapa kebijakan, seperti:

Bentuklah kelompok yang terdiri dari 4-5 orang dan kerjakan soal

berikut ini!

1. Apakah sistem banyak partai (multi party) dapat menjamin terwujudnya

kehidupan yang demokratis!

2. Apakah sistem banyak partai dapat menjamin terjuwujudnya stabilitas

nasional?

3. Mengapa tidak partai politik yang mampu memperoleh suara lebih dari 50%?

Tugas4.3

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

71

1. Pembentukkan Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan

(BPPBM) yang menjadi cikal bakalnya Bulog;

2. Pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN);

3. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) atas inisiatif

Menteri Kemakmuran, dr. A.K. Gani.

Sejak pengakuan kedaulatan, pemerintahan Indonesia dihadapkan dengan

masalah gawat yang bertalian dengan dipertahankannya dominasi Belanda atas

ekonomi Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dalam KMB, pihak Indonesia

telah menyetujui untuk menghormati hak-hak dan mengakui kepentingan-

kepentingan perusahaan Belanda di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa kemerdekaan ekonomi belum tercapai karena beberapa sektor ekonomi

Indonesia yang strategis masih dikuasai dan dikendalikan perusahaan-

perusahaan swasta Belanda. Ada lima perusahaan swasta Belanda yang

memegang monopoli kegiatan ekonomi di Indonesia, yaitu:

1. Jacobson dan van den Berg,

2. Internatio,

3. Borneo-Sumatera Maatschappiy (Barsumij),

4. Lindeteves, dan

5. Geo Wehry.

Kelima perusahaan itu sering disebut sebagai “the big five”, terutama karena

sebagai pemegang monopoli kegiatan ekonomi Indonesia.

Berkaitan dengan keadaan tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia

mendesak pemerintah Indonesia untuk mengurangi kekuasaan perusahaan-

perusahaan swasta Belanda dalam mengeksploitasi sumber alam Indonesia,

dan sekaligus mendorong dan mendukung perkembangan perusahaan swasta

pribumi Indonesia. Mereka berkeyakinan bahwa keadaan perekonomian Indonesia

yang kurang menguntungkan pada revolusi fisik merupakan bukti pelaksanaan

sistem ekonomi kolonial. Pada masa kolonial eksploitasi sumber daya alam dan

manusia Indonesia dilakukan oleh dan untuk kepentingan penjajah. Atas dasar

pemikiran di atas, maka kepemilikan asing dan non pribumi, khususnya orang

Belanda dan juga Cina atas aset-aset produktif Indonesia dan pengendalian

ekonomi Indonesia harus dikurangi atau dihapus sama sekali.

Secara umum, bangsa Indonesia belum memiliki konsep pembangunan

ekonomi nasional yang jelas. Beberapa pemimpin nasional yang berpengaruh

menganjurkan pengembangan ekonomi nasional menurut pola sosialis untuk

menggantikan struktur ekonomi kapitalis yang eksploitatif yang telah diwarisi dari

zaman kolonial. Sementara, Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Menkeu Kabinet Natsir)

menyatakan bahwa pembaruan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional harus

dilakukan dengan menghidupkan kegiatan perdagangan dan menumbuhkan kelas

pengusaha.

Pada waktu itu, keadaan pengusaha pribumi sangat lemah dan pengusaha

non pribumi sudah kuat kedudukan dan modalnya. Oleh karena itu, Sumitro

menggagas gerakan benteng, yaitu melindungi pengusaha pribumi dalam

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

72

persaingan dengan pengusaha non pribumi dengan memberikan kredit. Berkaitan

dengan gagasan tersebut, pemerintah mengucurkan dana pinjaman yang diberikan

kepada 700 pengusaha pribumi. Di samping itu, pemerintah melaksanakan

industrialisasi yang dituangkan dalam Rencana Sumitro, dengan sasaran:

a. Mengembangkan industri dasar dengan mendirikan pabrik semen, pe-

mintalan, karung, dan percetakan.

b. Meningkatkan produksi pangan, perbaikan prasarana, dan penanaman

modal asing.

Usaha mengatasi krisis moneter dilakukan pula oleh Kabinet Sukiman dengan

cara nasionalisasi De Javanche Bank. Kendati mengalami krisis moneter,

pemerintah melalui Menteri Keuangan Yusuf Wibisono masih memberikan

perhatian kepada para pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi

lemah. Dengan pemberian bantuan itu diharapkan para pengusaha yang

merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume

import. Seiring dengan peraturan membagi dua uang kertas, diadakan pula

peraturan sertifikat deviden, suatu usaha untuk memberikan dasar yang

sewajarnya bagi nilai rupiah. Sertifikat-sertifikat itu tidak pernah diperjualbelikan

sebagai kertas berharga yang sebenarnya. Nilainya ditentuan oleh bank dan uang

yang diterimanya diberikan atau dibayarkan kepada mereka yang berhak

menerimanya.

Pada masa Kabinet Ali-Wongso, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq

Tjokrohadisurjo melaksanakan sistem ekonomi baru yang disebut Sistem Benteng

sebagaimana digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo. Sistem ini sering disebut

sebagai Sistem Ali-Baba. Ali untuk menggambarkan pengusaha pribumi, sedang

Baba untuk menggambarkan pengusaha non pribumi, khususnya Cina. Menurut

Iskaq, pengusaha pribumi harus bekerja sama dengan pengusaha non pribumi

dalam memajukan perekonomian Indonesia. Untuk itu, pemerintah akan

menyediakan kredit melalui bank. Namun, sistem mengalami kegagalan karena

pengusaha non pribumi lebih piawai dari pengusaha pribumi.

Akibat sanering uang yang dilakukan pemerintah pada zaman Ir. Djuanda,

yaitu penarikan uang dari peredaran. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri

Keuangan berhasil menarik sekitar Rp 1,5 milyar. Dengan uang itu dapatlah

pemerintah membayar sebagian utangnya kepada Bank Sentral, untuk membiayai

defisit anggaran. Pemerintah selalu mengambil uang muka dari De Javanche

Bank (kini Bank Indonesia). Melalui cara tersebut sebagian uang muka dapat

dibayar kembali. Dengan demikian, penyelesaian utang pemerintah dilakukan

dengan pinjaman ‘paksaan’.

Pada masa demokrasi liberal, Indonesia sering ditimpa gelombang

pemogokan. Walaupun begitu perdagangan luar negeri masih berkembang baik.

Bahkan, waktu itu Indonesia mampu membeli valuta asing sebagai simpanan.

Simpanan valuta ini dapat dijual kembali, jika keadaan memaksa seperti pada

pertengahan bulan Nopember 1952 Indonesia mulai menjual emasnya.

Merosotnya cadangan emas itu menyebabkan nilai dasar barang ekspor Indonesia

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

73

menjadi buruk. Di samping itu, untuk mengurangi inflasi pemerintah harus

menyediakan barang sebanyak-sebanyaknya.

Usaha pemerintah Indonesia untuk menuju ekonomi

nasional, ternyata tidak mudah. Adanya peristiwa Tanjung Morawa

(tahun 1952) menyebabkan Kabinet Wilopo jatuh. Peristiwa

Tanjung Morawa menimbulkan heboh yang demikian besar.

Jatuhnya Kabinet Wilopo dan munculnya kabinet baru di bawah

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I menandakan suatu tahap

baru dalam kebijaksanaan anti penanaman modal asing yang

lebih militan. Hal ini antara lain terlihat dari usaha

“Indonesianisasi” yang lebih intensif, misalnya dengan bantuan

pemerintah Indonesia kepada pengusaha-pengusaha pribumi

untuk mengambil alih bagian yang lebih besar dari berbagai

kegiatan ekonomi, seperti perdagangan impor, perbankan,

perkapalan dan penggilingan beras, yang dikuasai kepentingan

ekonomi Belanda dan Cina.

Sebagai daerah bekas jajahan Belanda, Indonesia tidak

memiliki banyak ahli, sehingga usaha mengganti sistem ekonomi

kolonial ke ekonomi nasional tidak menghasilkan perubahan yang

berarti. Hal tersebut mendorong lahirnya berbagai kebijakan

pemerintah mengalami defisit keuangan sehingga cenderung

melahirkan kebijakan untuk mencetak uang baru yang

menimbulkan inflasi. Inflasi dapat menghambat produksi dikarenakan adanya

kenaikan upah. Pemimpin-pemimpin nasional yang lebih pragmatis menyadari

bahwa PMA baru memang harus ditarik ke Indonesia untuk mengembangkan

sumber-sumber daya alam Indonesia dan mendirikan industri modern yang

disertai berbagai amandemen.

Undang-Undang PMA melarang PMA dalam beberapa kegiatan ekonomi,

seperti pekerjaan umum, pertambangan, dan lapangan usaha lainnya di mana

umumnya pengusaha-pengusaha pribumi bergerak. Meskipun pemilikan saham

mayoritas tidak dilarang, namun Undang-Undang PMA ini menegaskan bahwa

usaha patungan dengan mitra Indonesia akan diberikan prioritas. Situasi politik

yang kacau, dan terutama nasionalisasi semua perusahaan Belanda bertalian

dengan konflik mengenai status Irian Barat, jelas tidak menguntungkan usaha-

usaha menarik arus PMA baru ke Indonesia. Malahan keadaan politik yang makin

radikal dan makin anti kehadiran PMA di Indonesia, maka pada tahun 1959

Presiden Sukarno mencabut UU PMA tahun 1958. Usaha perjuangan

pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, dilancarkan pula lewat

bidang ekonomi. Pada tanggal 18 Nopember 1957 diadakan rapat umum di

Jakarta. Rapat umum ini kemudian diikuti dengan aksi pemogokan total oleh

kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Pada tahun 1957

pemerintah segera mengambil tindakan antara lain :

1. Melarang beredarnya semua terbitan dan film yang berbahasa Belanda,

Tanjung Morawa adalah suatu daerah

kecamatan di Sumatera Timur di

mana terdapat perkebunan yang

dimiliki oleh asing, khususnya

tembakau. Pada jaman Jepang,

perkebunan itu ditinggalkan oleh

kontraktornya dan oleh rakyat (dengan

dorongan Jepang) perkebunan ini

digarap untuk tanaman bahan

makanan. Atas dasar isi perjanjian

KMB, para kontraktor menuntut

kembali hak atas tanah

perkebunannya, dan pemerintah

Republik Indonesia menyetujui

tuntutan mereka. Karena tanah

perkebunan itu dapat menghasilkan

devisa yang diperlukan, maka

kesanggupan pemerintah untuk

menjamin modal asing yang ditanam

di Sumatera Timur tadi diharapkan

akan menarik lebih banyak modal

asing yang ditanam di Indonesia.

Petani banyak yang protes, tetapi

disambut polisi dengan tembakan

yang menyebabkan beberapa petani

tewas.

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

74

2. Penerbangan Belanda KLM dilarang mendarat dan terbang di atas wilayah

Indonesia,

3. Mulai 5 Desember 1957 semua kegiatan Konsul Belanda di Indonesia

diminta dihentikan.

Setelah itu terjadi pengambilalihan (nasionalisasi) modal dan berbagai

perusahaan milik Belanda, yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah

No. 23 Tahun 1958. Berhubung waktu itu dalam keadaan darurat, militer berperan

desar dalam nasionalisasi. Beberapa contoh perusahaan yang diambilalih oleh

Indonesia antara lain :

a. Perbankan seperti Nederlansche Handel Maatschappy (namanya kemudian

menjadi Bank Dagang Negara).

b. Perusahaan Listrik Phillips.

c. Beberapa perusahaan perkebunan.

E. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

1. Sidang-sidang Konstituante

Tujuan Pemilu tahun 1955 adalah membentuk DPR dan Konstituante.

Salah satu tugas Konstituante adalah menyusun atau merumuskan

Rancangan Undang-Undang Dasar (Rancangan UUD) sebagai pengganti

UUDS 1950. Sesuai dengan sifatnya yang sementara, maka UUDS 1950 harus

diganti dengan UUD yang bersifat tetap. Oleh karena itu, setelah sukses

membentuk Konstituante melalui Pemilu 1955, maka Konsituante diharapkan

dapat melaksanakan tugasnya secara baik. Untuk itu, para anggota

Konstituante mulai bersidang pada tanggal 10 Nopember 1956. Sidang

Konstituante yang dilaksanakan di Bandung dipimpin oleh Wilopo SH, dan

telah dibuka secara resmi dengan Pidato Presiden Soekarno. Namun dalam

kenyataannya, sampai tahun 1958 Konstituante belum berhasil merumuskan

Rancangan UUD sebagaimana yang diharapkan.

Kegagalan Konstituante untuk merumuskan Rancangan UUD bukan

karena para anggota Konstituante tidak memiliki kemampuan untuk

melaksanakan tugasnya, melainkan karena terjadinya perbedaan pendapat di

antara para anggota Konstituante mengenai isi Rancangan UUD. Oleh karena

itu, Sidang Konstituante cenderung dijadikan arena perdebatan antara para

anggota Konstituante. Masing-masing anggota cenderung mengutamakan

kepentingan partainya dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat, bangsa,

dan negara.

1. Sebutkan 3 (tiga) hambatan yang dihadapi Pemerintah RI dalam

melaksanakan pembaruan Ekonomi Nasional?

2. Sebutkan 3 (tiga) strategi yang ditempuh Pemerintah RI untuk membangun

Ekonomi Nasional!

Tugas 4.4

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

75

Para anggota Konstituante terpecah menjadi dua kelompok utama, yaitu

kelompok Islam dan kelompok non Islam (nasionalis dan sosialis). Ternyata,

antara kedua kelompok tersebut tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai

isi Rancangan UUD. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila Konstituante,

akhirnya gagal melaksanakan tugasnya. Dalam membangun kehidupan yang

demokratis, perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang wajar. Namun, bukan

berarti masing-masing pribadi, kelompok, golongan, dan/atau partai dapat

memaksakan kehendaknya.

Setiap perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui musyawarah untuk

mufakat. Oleh karena itu, menyalahkan demokrasi liberal sebagai penyebab

kegagalan Konstituante melaksanakan tugasnya merupakan pemikiran yang

kurang bijaksana. Toh negara-negara Barat, demokrasi liberal dapat dilaksanakan

secara baik. Namun, adanya pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi

liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia patut untuk dihargai.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka persoalan yang paling mendasar

sebenarnya terletak pada kesadaran masing-masing dalam menempatkan

kepentingan pribadi dan kepentingan umum (bangsa dan negara). Selama

kepentingan pribadi diletakkan di atas segala-galanya, maka demokrasi model

manapun tidak akan berhasil membangun kehidupan yang demokratis. Oleh

karena itu, demokrasi harus diartikan sebagaimana pengertian dasarnya, yaitu

kekuasaan rakyat. Artinya, masing-masing pihak harus dapat menerima pendapat

pihak lain. Dengan kata lain, apabila kepentingan bangsa dan negara diletakkan

di atas segala-galanya, niscaya kehidupan yang demokratis dapat diwujudkan.

Seiring dengan kegagalan Konstituante merumuskan Rancangan UUD, di

luar ruang Sidang Konstituante berkembang pemikiran-pemikiran yang semakin

kuat untuk kembali ke UUD 1945. Pawai, rapat umum, petisi, dan demonstrasi

yang menuntut agar UUD 1945 diberlakukan kembali dilancarkan di mana-mana.

Dalam menanggapi tuntutan tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan gagasan

untuk kembali ke UUD 1945 dan pelaksanaan demokrasi terpimpin.

Keinginan-keinginan untuk kembali ke UUD 1945 mendapat dukungan dari

pimpinan ABRI (dalam hal ini Mayor Jenderal A.H. Nasution). Kemudian pimpinan

ABRI menggerakkan Dewan Menteri untuk mendesak Konstituante agar segera

menetapkan UUD 1945 secara konstitusional. Dewan Menteri mengadakan

sidang pada tanggal 19 Februari 1959 dan menghasilkan keputusan mengenai

pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.

Keputusan Dewan Menteri itu mengandung tiga hal pokok, yaitu: (1) tentang

UUD 1945, (2) prosedur kembalinya ke UUD 1945, dan (3) tentang masuknya

golongan fungsional ke dalam DPR. Artinya, perlu adanya pengangkatan calon

anggota DPR dari partai politik dan dari golongan fungsional yang penempatannya

diselang-seling secara bergantian. Di samping itu, diusulkan untuk mengangkat

anggota DPR dari Golongan ABRI oleh Presiden. Sementara, untuk membantu

tugas-tugas Presiden perlu dibentuk Front Nasional dengan Keputusan Presiden.

Berdasarkan perkembangan tersebut, pada tanggal 25 April 1959 Presiden

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

76

Soekarno menyampaikan amanat di depan Sidang Konstituante yang berisi

anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Amanat Presiden itu diperdebatkan dalam

Konstituante dan akhirnya diputuskan untuk melakukan pemungutan suara sesuai

dengan pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara pun dilaksanakan sampai

tiga kali, namun gagal mencapai dua pertiga (2/3). Dengan demikian, upaya untuk

menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 secara konstitusional mengalami

kegagalan. Terjadilah suasana yang menegangkan dan ada partai politik yang

menyatakan tidak mau datang lagi ke Sidang Konstituante.

Menanggapi perkembangan yang terjadi di dalam Konstituante, maka

Presiden Soekarno menganggap situasi yang terjadi sebagai keadaan darurat.

Itulah situasai yang melatarbelakangi dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

2. Keluarnya Dekrit Presiden

Setelah Konstituante gagal menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi

Negara Republik Indonesia, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang

diumumkan secara resmi di Istana Merdeka pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00.

Adapun isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:

a. Pembubaran Konstituante.

b. Pemberlakuan kembli UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.

c. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Tanggapan terhadap Dekrit Presiden adalah sebagai berikut:

a. Sebagian besar masyarakat mendukung penetapan dekrit oleh Presiden

Soekarno.

b. Kasad memerintahkan kepada seluruh anggota TNI untuk melaksanakan

dan mengamankan pelaksanaan dekrit tersebut.

c.Mahkamah Agung

membenarkan dekrit tersebut,

d.DPR secara aklamasi

menyatakan kesediaannya untuk

terus bekerja sesuai dengan

ketentuan UUD 1945. Pernyataan

DPR ini disampaikan dalam

sidang tanggal 22 Juli 1959.

Gambar. 4.5

Presiden Soekarno sedang Membacakan

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

77

3. Penbentukkan MPRS

Sebelum ada MPR yang tetap sesuai dengan UUD 1945, Presiden

Soekarno membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.

Keanggotaan MPRS terdiri dari 261 orang anggota DPR, 94 orang anggota Utusan

Daerah, dan 200 orang anggota Wakil Golongan. Susunan pimpinan MPRS adalah

sebagai berikut:

Ketua

: Chaerul Saleh.

Wakil Ketua : Mr. Ali Sastroamidjojo.

Wakil Ketua : K.H. Idham Khalid.

Wakil Ketua : D.N. Aidit.

Wakil Ketua : Kolonel Wiluyo Puspoyudo.

4. Pembentukan DPAS

DPAS dibentuk dengan berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959.

Beberapa hal yang diketahui berkaitan dengan Penetapan Presiden tersebut,

seperti:

a. Anggota DPAS diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden;

b. Anggota DPAS berjumlah 45

orang, yang terdiri dari 12 orang

wakil golongan politik, 8 orang

utusan daerah, 24 wakil golongan

dan satu orang ketua;

c. Tugas DPAS adalah memberi

jawaban atas pertanyaan presiden

dan mengajukan usul kepada

pemerintah;

d. DPAS dipimpin oleh presiden

sebagai ketua;

e. Sebelum memangku jabatan,

Wakil Ketua dan anggota DPAS mengangkat sumpah/janji di hadapan

presiden;

f.

DPAS dilantik pada pada tanggal 15 Agustus 1945.

Gambar. 4.6

Mr. Sartono selaku Ketua DPR sedang menghadap

Presiden Soekarno guna membicarakan tindak lanjut

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Jelaskan situasi yang melatarbelakangi dikeluarkannya Dekrit Presiden

5 Juli 1959!

Tugas 4.5

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

78

Pengakuan kedaulatan merupakan salah satu persyaratan formal

berdirinya suatu negara, di samping wilayah dan rakyat. Secara de facto, In-

donesia telah merdeka pada tanggal 17-8-1945. Secara de jure, kemerdekaan

itu harus mendapat pengakuan dari negara-negara lain, terutama Belanda.

Pengakuan Belanda atas kedaulatan RI masih sangat terbatas karena RI

hanya diakui sebagai bagian dari RIS.

Terbentuk RIS tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan

RI dan keutuhan NKRI belum dapat diwujudkan. RIS memberi peluang kepada

Belanda untuk menanamkan pengaruhnya, baik di bidang politik maupun

ekonomi.

Rakyat menuntut pembubaran RIS dan kembali ke NKRI sehingga

melahirkan instabilitas politik. Meskipun demikian, pemerintah berhasil

menyelenggarakan Pemilu yang pertama.

Pemerintah melaksanakan pembangunan politik dan ekonomi, meskipun

hasilnya masih jauh dari harapan masyarakat. Keadaan ini semakin tidak

menguntungkan bagi keutuhan NKRI.

Untuk mengatasi krisis yang terus menerus, akhirnya Presiden Soekarno

mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

RANGKUMAN

1. Setelah kalian mempelajari Bab ini, apakah kalian sudah dapat memahami

berbagai peristiwa politik dan ekonomi yang terjadi antara tahun 1950 sampai

1959. Apakah dampak peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi yang terjadi

selama demokrasi liberal? Apabila kalian belum memahami, apa yang akan

kalian lakukan? Apabila sudah, apa yang harus kalian lakukan?

2. Setelah kalian memahami peristiwa-peristiwa tersebut, apakah kalian dapat

mengambil hikmah atau pelajaran dari peristiwa-peristiwa itu? Apakah yang

akan kalian lakukan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia? Apakah yang harus dilakukan pemerintah RI untuk mewujudkan

kehidupan masyarakat yang tertib, aman, adil, makmur, dan sejahtera?

REFLEKSI

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

79

Di samping DPAS, pada tanggal 15 Agustus itu juga telah dilantik Ketua

Dewan Perancang Nasional yaitu Mr. Moh. Yamin dan Ketua Badan Pengawas

Kegiatan Aparatur yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

A. Pilihlah salah satu jawaban yang kamu anggap paling tepat

1. Konferensi Meja Budar (KMB) menghasilkan keputusan penting, di

antaranya:

a. Pengembalian hak milik Indonesia yang dirampas Belanda

b. Pengakuan kedaulatan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia

c. Indonesia dan Belanda sepakat untuk menghentikan peperangan

d. Belanda siap menarik seluruh tentaranya dari wilayah RI

2. Indonesia menyatakan kembali ke Negara Kesatuan sejak 17 Agustus 1950

karena:

a. Semua negara anggota RIS mendukungnya

b. Sistem federasi sebaiknya dilaksanakan di negara-negara liberal

c. NKRI sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945

d. Negara-negara bagian tetap dikendalikan oleh Belanda

3. Jatuhnya Kabinet Sukiman-Suwiryo pada tanggal 23 Februari 1952 karena:

a. Tidak tahan menghadapi partai-partai oposisi

b. Dianggap condong ke Blok Barat

c. Belum mampu melaksanakan politik bebas aktif

d. Tidak mendapat kepercayaan dari DPR

4. Kabinet pertama yang memerintah Indonesia pada masa demokrasi liberal

adalah:

a. Kabinet Natsir

b. Kabinet Wilopo

c. Kabinet Sukiman-Suwiryo

d. Kabinet Ali Sastroamidjojo

5. Sesudah Pemilu 1955, instabilitas politik Indonesia terus berlangsung

karena:

a. Konstituante tidak dapat melaksanakan tugasnya

b. Pemilu 1955 dianggap tidak demokratis

c. Adanya pertentangan antara Presiden dan DPR

d. Masa keanggotaan Konstituante telah habis

6. Sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia karena:

a. Terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu

b. Sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat

c. Pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan

d. Peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka

EVALUASI

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

80

7. PRRI merupakan salah satu pergolakan yang terjadi di daerah:

a. Sulawesi

b. Kalimantan

c. Jawa

d. Sumatera

8. Pemilu 1995 menghasilkan 4 (empat) partai besar, kecuali:

a. Partai Nasional Indonesia (PNI)

b. Partai Indonesia Raya (Parindra)

c. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)

d. Nahdatul Ulama (NU)

9. Salah satu faktor yang mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 adalah:

a. Untuk menciptakan pemerintahan yang stabil

b. Untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945

c. Konstituante tidak dapat melaksanakan tugasnya

d. Terjadinya pertentangan antara para anggota Konstituante

10. Pembentukkan MPRS dan DPAS sangat konstitusional karena:

a. Sesuai dengan UUDS 1950

b. Sesuai dengan hak prerogatif Presiden

c. Sesuai dengan isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959

d. Sesuai dengan UUD 1945

Bab IV. Peristiwa-Peristiwa Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

81

B. Isilah titik-titik dengan jawaban yang tepat

1. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal .....................

...................................

2. Seringnya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal (1950-1959) sebagai

akibat adanya persaingan antara .......................................... dengan

...............................

3. Pemilu tahun 1955 dilaksanakan pada masa pemerintahan kabinet .............

........................................................

4. Berdasarkan hasil Pemilu 1955, partai politik yang memperoleh kursi paling

banyak di Konstituante adalah .................................................

5. Cangkraningrat adalah kepala negara dari negara bagian ...........................

C. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara singkat

1. Sebutkan 3 (tiga) sebab terjadinya instabilitas pemerintahan pada masa

demokrasi liberal (1950-1959)!

2. Sebutkan 3 (tiga) sebab pemerintah RI tidak dapat membangunan

perekonomian nasional yang mantap pada tahun 1950-1959!

3. Mengapa Konstituante tidak dapat menyusun Rancangan Undang-Undang?

4. Sebutkan isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959!

5. Bagaimanakah pendapat kalian terhadap pelaksanaan demokrasi

terpimpin? Jelaskan jawaban kalian!

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas IX

82